6 Alasan Kenapa Ibu Kota Jakarta Pindah ke IKN

Share:

6 Alasan Kenapa Ibu Kota Jakarta Pindah ke IKN

Indonesia, tanah air yang kaya akan keindahan alam dan keberagaman budaya, kembali mencatat babak baru dalam sejarahnya. Keputusan monumental untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta, pusat pemerintahan sejak zaman kolonial, menuju Kalimantan Timur, menjadi sorotan hangat di tengah masyarakat. 

Berbagai pertimbangan mendasari langkah berani ini, yang tidak hanya terkait dengan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga dampak positif yang diharapkan bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Inilah enam alasan utama yang melandasi langkah epik ini.


1. Penduduk Jawa Terlalu Padat

Pertama-tama, alasan utama di balik keputusan pemindahan ibu kota negara adalah karena Jakarta dan Jawa telah mengalami tekanan yang terlalu besar. Data dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan bahwa 56,56 persen dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 150,18 juta jiwa, terkonsentrasi di pulau Jawa.

Di sisi lain, persentase penduduk Indonesia di pulau-pulau lainnya umumnya kurang dari 10 persen, kecuali pulau Sumatera yang mencapai 22,1 persen atau sekitar 58,45 juta jiwa. Keberatan beban populasi yang terpusat di Jawa menjadi landasan penting untuk langkah strategis pemindahan pusat pemerintahan ke Kalimantan Timur.

Di wilayah Kalimantan, persentase penduduk Indonesia hanya sekitar 6,1 persen, setara dengan 16,23 juta jiwa. Sementara itu, di Sulawesi, persentase penduduk Indonesia mencapai 7,4 persen, atau sekitar 19,56 juta jiwa.

Selanjutnya, di Bali dan Nusa Tenggara, jumlah penduduknya mencapai 14,90 juta jiwa, yang setara dengan 5,6 persen dari total penduduk Indonesia. Sedangkan di Maluku dan Papua, persentasenya tercatat sebagai yang paling kecil, yakni sekitar 2,8 persen atau sekitar 7,32 juta jiwa.


2. Kontribusi Ekonomi PDB

Alasan kedua di balik keputusan pemindahan ibu kota negara adalah dominasi kontribusi ekonomi pulau Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah, di bawah kepemimpinan Jokowi, berusaha menghilangkan ketidakseimbangan yang diwakili oleh istilah "Jawasentris" dengan mendorong peningkatan kontribusi ekonomi di pulau-pulau lain.

Berdasarkan statistik Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, pulau Jawa menyumbang sekitar 59 persen terhadap PDB, sementara pertumbuhan ekonominya mencapai 5,52 persen. Di sisi lain, Sumatera memberikan kontribusi ekonomi sebesar 21,31 persen, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,99 persen. Kalimantan menyumbang 8,05 persen terhadap PDB, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99 persen.

Sulawesi, dengan kontribusi ekonomi sekitar 6,33 persen, mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,65 persen. Sedangkan di Bali dan Nusa Tenggara, kontribusinya sekitar 3,06 persen, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07 persen. Terakhir, Maluku dan Papua memberikan kontribusi sekitar 2,24 persen terhadap PDB, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,40 persen. Pemindahan ibu kota diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.


3. Krisis Air Bersih

Alasan tambahan di balik keputusan pemindahan ibu kota negara adalah masalah ketersediaan air bersih. Menurut informasi yang diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016, pulau Jawa dan Bali menghadapi krisis air yang mengkhawatirkan, terutama di daerah Jabodetabek dan Jawa Timur.

Kondisi terburuk terlihat di wilayah Jabodetabek dan Jawa Timur, yang memperlihatkan krisis air yang cukup parah. Hanya sebagian kecil di pulau Jawa yang menunjukkan indikator hijau, menandakan bahwa ketersediaan air masih dalam kondisi sehat, terutama di wilayah Gunung Salak hingga Ujung Kulon. Pemindahan ibu kota diharapkan dapat membantu mengatasi tantangan ini dan memberikan solusi yang berkelanjutan terkait masalah krisis air.


4. Pertumbuhan Urbanisasi Tinggi

Alasan lain di balik pemindahan ibu kota adalah pertumbuhan urbanisasi yang signifikan, dengan pusat populasi terbesar terfokus di Jakarta dan sekitarnya, yaitu Jabodetabekpunjur.

Pada tahun 2013, Jakarta menduduki peringkat kesepuluh sebagai kota terpadat di dunia menurut PBB (2013). Kemudian, pada tahun 2017, Jakarta naik peringkat menjadi kota terpadat kesembilan di dunia.


6. Ancaman Banjir dan Penurunan Tanah Jakarta

Sementara itu, meningkatnya beban di Jakarta telah mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan dan kerugian ekonomi yang besar. Jakarta semakin rentan terhadap masalah banjir, penurunan tanah, dan kenaikan muka air laut, sementara kualitas air sungai mengalami pencemaran yang serius.

Sebanyak 50 persen wilayah Jakarta memiliki tingkat keamanan terhadap banjir di bawah 10 tahunan, yang jauh dari idealnya untuk kota besar yang seharusnya memiliki tingkat keamanan minimal 50 tahunan.

Wilayah Jakarta juga terancam oleh aktivitas gunung berapi seperti Krakatau dan Gunung Gede, potensi gempa bumi-tsunami seperti Megathrust Selatan, Jawa Barat, dan Selat Sunda, serta gempa darat dari Sesar Baribis, Sesar Lembang, dan Sesar Cimandiri.

Tidak hanya itu, penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 35-50 cm selama periode tahun 2007-2017. Semua faktor ini bersama-sama menciptakan ancaman serius terhadap keberlanjutan dan keselamatan ibu kota yang sudah terlalu padat.


Penutup

Pemindahan ibu kota negara menjadi pilihan berani yang membawa harapan besar untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Dengan menggali potensi Kalimantan Timur dan memandang jauh ke depan, 

pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen dalam membangun negara yang berkelanjutan, merata, dan berdaya saing tinggi. Meskipun tantangan besar menanti, langkah ini menandai perubahan paradigma yang menjadikan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat sebagai titik fokus utama.

No comments

Jangan lupa kasih komentar ya!. Karena komentar kalian membantu kami menyediakan informasi yang lebih baik

Tidak boleh menyertakan link atau promosi produk saat berkomentar. Komentar tidak akan ditampilkan. Hubungi 081271449921(WA) untuk dapat menyertakan link dan promosi